Minggu, 31 Oktober 2010

Prinsip-Prinsip Ilmu Nahwu

Dalam mempelajari suatu disiplin ilmu, alangkah baiknya kita mengetahui prinsip-prinsip daripadanya terlebih dahulu. Karena hal tersebut dapat mengarahkan kita terhadap gambaran umum dari ilmu tersebut. Hal ini sangat penting, supaya pola pikir kita tidak terlalu melebar dalam memahaminya. Berikut adalah beberapa prinsip dari ilmu nahwu secara sederhana:
1. Al-Hadd (definisi)
Secara sederhana, ilmu ini mempunyai definisi:
علم بقواعدَ يُعرَف بها أحوالُ أواخرِ الكلِم العربيةِ حال تركيبها من الإعراب والبناًء وما يتبع ذلك
“kaidah-kaidah ilmu, yang berfungsi untuk mengetahui keadaan/bentuk akhir suatu kalimat berbahasa arab ketika merangkap (dengan kalimat lain), yakni i’rab, bina dan sebagainya”
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa objek kajian ilmu ini hanyalah huruf akhir dari kalimat-kalimat berbahasa arab. Adapun untuk mengkaji bagian awal atau bagian tengah daripadanya diatur dalam ilmu lain yang bernama ilmu sharaf. Berkenaan dengan hal ini, ada sebuah ungkapan yang sangat masyhur, yaitu:
الصرفُ أُمُّ العلومِ والنحوُ أبوها
“ilmu sharaf adalah ibunya ilmu dan ilmu nahwu merupakan bapaknya”
Ungkapan ini mengandung arti bahwa ilmu sharaf bertindak laksana ibu, yang –biasanya- mengurus anak dari semenjak lahir hingga dewasa (awal dan tengah). Sementara ilmu nahwu bertindak layaknya bapak, yang mengurus anak pada masa dewasa hingga ia mampu berdiri sendiri (akhir kepengurusan).
2. Al-Tsamrah (manfaat dan kegunaan)
Manfaat dan kegunaan mengkaji ilmu nahwu adalah sebagaimana diungkapkanan Syeikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitabnya, al-‘Amrithi, sebagai berikut:
صَوْنُ اللّسان عن الخطإ في الكلام والإستعانة على فهْم كلام الله وكلام رسولِه
“menjaga lisan dari kesalahan dalam berbicara, dan membantu dalam memahami kalamullah (al-Qur’an) dan kalam Rasul-Nya (al-Hadist)”
3. Al-Wadli’ (penggagas)
Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial budaya (Dlaif, 1968:11; Al-Fadlali, 1986:5). Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca).
Adapun mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, nampaknya ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus (Dlaif, 1998:13).
Namun, dari perbedaan-perbedaan pendapat itu, yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini adalah dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502 H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17). Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu.
Abul Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab (Al-Fadlali, 1986:8). Ia adalah seorang alim dan mulia yang pernah menjabat sebagai hakim wilayah bashrah. Menurut riwayat yang paling masyhur, nama aslinya adalah Zalim bin Amr. Beliau juga terlahir pada masa kenabian.
Mengenai latar belakang beliau menggagas ilmu ini, beberapa sumber berbeda pendapat. Ada yang mengatakan karena suatu perintah yang dalam hal ini adalah atas perintah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dijelaskan di atas. Ada juga yang menyatakan karena inisiatif beliau sendiri. Seperti dalam riwayat yang menyatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat Al-Qur'an: "Inna AIla:ha bari:un minal musyrikiina warasu:lihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasu:lihi, padahal seharusnya difathahkan atau didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab.
4. Al-Istimdad (sumber pengambilan)
Sumber pengambilan ilmu nahwu adalah:
من القرأن والحديث وكلام العرب الفصيح
“dari al-Quran, al-Hadis dan dari perkataan orang-orang arab yang fashih”
5. Al-Hukm (hukum mempelajari)
Hukum mempelajari ilmu nahwu terbagi dua, yaitu:
 Fardhu kifayah, bagi masyarakat pada umumnya.
 Fardhu ain, khusus bagi orang yang hendak menggali hukum dari al-Qur’an, al-Hadist dan sumber lainnya yang berbahasa arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar