A. Pengertian
Kalam merupakan salah satu istilah dalam ilmu nahwu mengenai kata dan susunannya. Istilah-istilah lain terkait kata dan susunannya dalam ilmu nahwu ini adalah: Kalimat, Kalim dan Qoul. Berikut adalah pembahasan mengenai hal-hal tersebut:
1. Kalimat
Kalimat dalam istilah ilmu nahwu didefinisikan dengan:
اللفظة الواحدة التى تتركب من بعض الحروف الهجائية، وتدل على معنى جزئى؛ أىْ: "مفرد"
Suatu lafadz yang tersusun dari sebagian huruf ejaan dan mengandung arti tunggal
Ada juga yang mendefinisikannya –secara sederhana- dengan “قول مفرد” (ucapan atau perkataan mufrad). Adapun maksud mufrad dalam bab ini adalah:
ما لا يدلّ جزءُه على جزء معنى ه
Sesuatu yang unsur-unsurnya tidak mengandung makna
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kalimat dalam istilah ilmu nahwu sama dengan “kata” dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, misalnya kalimat “زيد” yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu zai, ya dan dal, yang mana kesemuanya itu tidak mengandung arti sama sekali. Dalam bahasa Indonesia hal yang seperti itu disebut dengan “kata”.
Terdapat tiga bentuk kalimat dalam bahasa arab, yakni: kalimat isim (contoh: “زيد”), kalimat fi’il (contoh: “قام”( dan kalimat haraf (contoh: “إنْ”).
2. Kalim
Kalim merupakan istilah kedua mengenai kata dan susunannya. Kalim dapat diartikan dengan:
ما تركب من ثلاث كلمات فأكثر, سواء أفاد أو لم يفد
Sesuatu yang tersusun dari tiga kalimat atau lebih, baik berfaedah ataupun tidak.
Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa suatu susunan dapat dikatakan kalim apabila di dalamnya terdapat unsur tiga kalimat sebagaimana dijelaskan di atas, yakni isim, fiil dan haraf, tanpa mengharuskan adanya unsur berfaedah. Sebagai contoh bisa dilihat dari dua susunan berikut ini:
إن قام زيد, susunan kalim yang tidak berfaedah
قد قامت الصلاة, susunan kalim yang berfaedah (bisa juga dianggap kalam).
3. Kalam
Kalam dalam istilah ilmu nahwu didefinisikan dengan:
اللفظ المركب المفيد بالوضع
Lafadz yang merangkap serta berfaedah dengan bentuk bahasa arab
Untuk bisa memahami pengertian kalam di atas, nampaknya harus diketahui terlebih dahulu maksud daripada empat hal yang menjadi batasannya, yakni lafadz, murakkab, mufid dan wadla’.
a. Lafadz
Lafadz dalam hal ini diartikan dengan:
الصوة المشتمل على بعض الحروف الهجائية
Suara yang mencakup terhadap sebagian huruf ejaan
Dari sini dapat dipahami bahwa batasan pertama dalam kalam adalah harus berbentuk ucapan atau suara yang mencakup terhadap sebagian huruf ejaan (suara yang bisa dipahami), tidak boleh berbentuk tulisan, isyarat dan lain sebagainya.
b. Murakkab
Murakkab dapat didefinisikan dengan:
ما تركب من كلمتين فأكثر
Sesuatu yang tersusun dari dua kalimat atau lebih
Hal ini jelas memberi pengertian bahwa kalam harus berupa susunan atau deretan dari beberapa kalimat. Dengan demikian tidak bisa dikatakan kalam apabila hanya terdiri dari satu bentuk kalimat saja, seperti kalimat mufrad dan lain sebagainya.
c. Mufid
Batasan ketiga dalam kalam adalah mufid. Mufid dalam istilah ilmu nahwu didefinisikan dengan:
ما دل على معنى يحسن السكوت عليه
Sesuatu yang mempunyai makna yang sudah dianggap bagus.
Batasan ini memberi pemahaman bahwa suatu rentetan suara atau pembicaraan dapat dianggap sebagai kalam manakala telah mengandung makna yang sudah dianggap bagus atau baik. Hal ini bisa digambarkan dengan tidak perlunya pendengar untuk menunggu kelanjutan (penyempurna) pembicaraan orang yang berbicara.
Adapun rentetan suara yang dianggap belum mengandung makna yang bagus atau baik sebagaimana dijelaskan di atas, itu tidak bisa dikatakan kalam. Seperti misalnya rangkaian idhafat (contoh: غلام يدِ), rangkaian tarkib mazji (contoh: بعلبكَ) dan lain sebagainya.
d. Wadla’
Wadla’ merupakan batasan terakhir dalam kalam. Wadla’ menurut pendapat yang “paling benar”, diartikan dengan “bahasa arab”. Dengan kata lain, suatu susunan pembicaraan baru bisa dianggap kalam apabila berbentuk bahasa arab. Dengan demikian, rentetan suara -walaupun berfaedah- yang tidak berbentuk bahasa arab itu tidak dapat dinamakan kalam.
Dari penjelasan mengenai batasan-batasan kalam di atas, dapat disimpulkan bahwa kalam adalah suatu rentetan suara atau pembicaraan berbahasa arab yang sudah dianggap bermakna baik/bagus. Secara sederhana, susunan kalam ini dapat digambarkan dalam tiga bentuk susunan berikut:
• Fiil dan fa’il (terdiri dari kalimat fiil dan isim), seperti: قام زيد
• Mubtada dan Khabar (terdiri dari kalimat isim dan isim), seperti: زيد قائم
• Syarat dan jawab (terdiri dari tiga bentuk kalimat, yakni isim, fiil dan haraf), seperti: إن قام زيد قام عمرو.
Minggu, 31 Oktober 2010
Prinsip-Prinsip Ilmu Nahwu
Dalam mempelajari suatu disiplin ilmu, alangkah baiknya kita mengetahui prinsip-prinsip daripadanya terlebih dahulu. Karena hal tersebut dapat mengarahkan kita terhadap gambaran umum dari ilmu tersebut. Hal ini sangat penting, supaya pola pikir kita tidak terlalu melebar dalam memahaminya. Berikut adalah beberapa prinsip dari ilmu nahwu secara sederhana:
1. Al-Hadd (definisi)
Secara sederhana, ilmu ini mempunyai definisi:
علم بقواعدَ يُعرَف بها أحوالُ أواخرِ الكلِم العربيةِ حال تركيبها من الإعراب والبناًء وما يتبع ذلك
“kaidah-kaidah ilmu, yang berfungsi untuk mengetahui keadaan/bentuk akhir suatu kalimat berbahasa arab ketika merangkap (dengan kalimat lain), yakni i’rab, bina dan sebagainya”
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa objek kajian ilmu ini hanyalah huruf akhir dari kalimat-kalimat berbahasa arab. Adapun untuk mengkaji bagian awal atau bagian tengah daripadanya diatur dalam ilmu lain yang bernama ilmu sharaf. Berkenaan dengan hal ini, ada sebuah ungkapan yang sangat masyhur, yaitu:
الصرفُ أُمُّ العلومِ والنحوُ أبوها
“ilmu sharaf adalah ibunya ilmu dan ilmu nahwu merupakan bapaknya”
Ungkapan ini mengandung arti bahwa ilmu sharaf bertindak laksana ibu, yang –biasanya- mengurus anak dari semenjak lahir hingga dewasa (awal dan tengah). Sementara ilmu nahwu bertindak layaknya bapak, yang mengurus anak pada masa dewasa hingga ia mampu berdiri sendiri (akhir kepengurusan).
2. Al-Tsamrah (manfaat dan kegunaan)
Manfaat dan kegunaan mengkaji ilmu nahwu adalah sebagaimana diungkapkanan Syeikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitabnya, al-‘Amrithi, sebagai berikut:
صَوْنُ اللّسان عن الخطإ في الكلام والإستعانة على فهْم كلام الله وكلام رسولِه
“menjaga lisan dari kesalahan dalam berbicara, dan membantu dalam memahami kalamullah (al-Qur’an) dan kalam Rasul-Nya (al-Hadist)”
3. Al-Wadli’ (penggagas)
Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial budaya (Dlaif, 1968:11; Al-Fadlali, 1986:5). Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca).
Adapun mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, nampaknya ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus (Dlaif, 1998:13).
Namun, dari perbedaan-perbedaan pendapat itu, yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini adalah dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502 H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17). Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu.
Abul Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab (Al-Fadlali, 1986:8). Ia adalah seorang alim dan mulia yang pernah menjabat sebagai hakim wilayah bashrah. Menurut riwayat yang paling masyhur, nama aslinya adalah Zalim bin Amr. Beliau juga terlahir pada masa kenabian.
Mengenai latar belakang beliau menggagas ilmu ini, beberapa sumber berbeda pendapat. Ada yang mengatakan karena suatu perintah yang dalam hal ini adalah atas perintah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dijelaskan di atas. Ada juga yang menyatakan karena inisiatif beliau sendiri. Seperti dalam riwayat yang menyatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat Al-Qur'an: "Inna AIla:ha bari:un minal musyrikiina warasu:lihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasu:lihi, padahal seharusnya difathahkan atau didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab.
4. Al-Istimdad (sumber pengambilan)
Sumber pengambilan ilmu nahwu adalah:
من القرأن والحديث وكلام العرب الفصيح
“dari al-Quran, al-Hadis dan dari perkataan orang-orang arab yang fashih”
5. Al-Hukm (hukum mempelajari)
Hukum mempelajari ilmu nahwu terbagi dua, yaitu:
Fardhu kifayah, bagi masyarakat pada umumnya.
Fardhu ain, khusus bagi orang yang hendak menggali hukum dari al-Qur’an, al-Hadist dan sumber lainnya yang berbahasa arab.
1. Al-Hadd (definisi)
Secara sederhana, ilmu ini mempunyai definisi:
علم بقواعدَ يُعرَف بها أحوالُ أواخرِ الكلِم العربيةِ حال تركيبها من الإعراب والبناًء وما يتبع ذلك
“kaidah-kaidah ilmu, yang berfungsi untuk mengetahui keadaan/bentuk akhir suatu kalimat berbahasa arab ketika merangkap (dengan kalimat lain), yakni i’rab, bina dan sebagainya”
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa objek kajian ilmu ini hanyalah huruf akhir dari kalimat-kalimat berbahasa arab. Adapun untuk mengkaji bagian awal atau bagian tengah daripadanya diatur dalam ilmu lain yang bernama ilmu sharaf. Berkenaan dengan hal ini, ada sebuah ungkapan yang sangat masyhur, yaitu:
الصرفُ أُمُّ العلومِ والنحوُ أبوها
“ilmu sharaf adalah ibunya ilmu dan ilmu nahwu merupakan bapaknya”
Ungkapan ini mengandung arti bahwa ilmu sharaf bertindak laksana ibu, yang –biasanya- mengurus anak dari semenjak lahir hingga dewasa (awal dan tengah). Sementara ilmu nahwu bertindak layaknya bapak, yang mengurus anak pada masa dewasa hingga ia mampu berdiri sendiri (akhir kepengurusan).
2. Al-Tsamrah (manfaat dan kegunaan)
Manfaat dan kegunaan mengkaji ilmu nahwu adalah sebagaimana diungkapkanan Syeikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitabnya, al-‘Amrithi, sebagai berikut:
صَوْنُ اللّسان عن الخطإ في الكلام والإستعانة على فهْم كلام الله وكلام رسولِه
“menjaga lisan dari kesalahan dalam berbicara, dan membantu dalam memahami kalamullah (al-Qur’an) dan kalam Rasul-Nya (al-Hadist)”
3. Al-Wadli’ (penggagas)
Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial budaya (Dlaif, 1968:11; Al-Fadlali, 1986:5). Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca).
Adapun mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, nampaknya ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus (Dlaif, 1998:13).
Namun, dari perbedaan-perbedaan pendapat itu, yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini adalah dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502 H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17). Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu.
Abul Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab (Al-Fadlali, 1986:8). Ia adalah seorang alim dan mulia yang pernah menjabat sebagai hakim wilayah bashrah. Menurut riwayat yang paling masyhur, nama aslinya adalah Zalim bin Amr. Beliau juga terlahir pada masa kenabian.
Mengenai latar belakang beliau menggagas ilmu ini, beberapa sumber berbeda pendapat. Ada yang mengatakan karena suatu perintah yang dalam hal ini adalah atas perintah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dijelaskan di atas. Ada juga yang menyatakan karena inisiatif beliau sendiri. Seperti dalam riwayat yang menyatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat Al-Qur'an: "Inna AIla:ha bari:un minal musyrikiina warasu:lihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasu:lihi, padahal seharusnya difathahkan atau didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab.
4. Al-Istimdad (sumber pengambilan)
Sumber pengambilan ilmu nahwu adalah:
من القرأن والحديث وكلام العرب الفصيح
“dari al-Quran, al-Hadis dan dari perkataan orang-orang arab yang fashih”
5. Al-Hukm (hukum mempelajari)
Hukum mempelajari ilmu nahwu terbagi dua, yaitu:
Fardhu kifayah, bagi masyarakat pada umumnya.
Fardhu ain, khusus bagi orang yang hendak menggali hukum dari al-Qur’an, al-Hadist dan sumber lainnya yang berbahasa arab.